
Seperti halnya laki-laki, perempuan bukanlah satu-satunya jenis kelamin yang terkena dampak sebuah bencana. Akan tetapi, karena perempuan memiliki akses yang jauh lebih kecil pada kunci-kunci penyelamatan, perempuan berpotensi lebih besar menjadi korban.
Tsunami di Aceh misalnya, ditengarai merenggut jiwa perempuan 4 kali lebih banyak dari jiwa laki-laki. Dengan cara berpikir seperti ini sebuah ‘bencana alam’ dapat dengan cepat berubah menjadi ‘bencana sosial’.
Kunci Penyelamatan (Key Survival)
Kunci penyelamatan adalah indikator-indikator yang terdapat dalam masyarakat sebagai ukuran kesiapan masyarakat dalam menghadapi situasi sebelum, ketika, dan setelah bencana. Kunci penyelamatan ini juga menjadi ukuran seberapa lama masyarakat yang tertimpa bencana mampu melepaskan diri dari situasi ketergantungan pada bantuan. Di bawah ini adalah beberapa indikator kunci penyelamatan:
- Pendapatan, tabungan, asuransi
- Kepemilikan tanah, persedian hidup, peralatan
- Pekerjaan yang tetap, kemampuan kerja
- Rumah yang memadai dan memperhatikan faktor-faktor keselamatan
- Kemampuan baca tulis, kemampuan birokrasi
- Memiliki kekerabatan yang luas dan dekat, jaringan sosial yang luas
- Rendahnya tingkat ketergantungan ekonomi anggota keluarga yang telah dewasa
- Akses pada transportasi publik atau pribadi
- Waktu
- Jaringan sosial dan keterkaitan antar komunitas
- Kekuasaan politik dan pengaruh dalam komunitas
- Kekuasaan dalam rumah tangga
- Akses pada pengetahuan, skill, uang dan rumah
- Akses pada rumah-rumah singgah darurat dan sarana komunikasi darurat
Gender dan Konstruksi Sosial Bencana Relasi gender jelas berdampak sangat signifikan dalam kehidupan keseharian antara laki-laki dan perempuan. Demikian halnya, relasi ini pun akan memberikan efek yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan sebelum, ketika, dan setelah bencana terjadi.
Hampir dapat dipastikan laki-laki – karena konstruksi perannya di wilayah publik –memiliki peluang yang lebih besar pada akses dan kunci penyelamatan (key survival). Sebaliknya, perempuan karena konstruksi sosial yang menempatkan dirinya di wilayah domestik jauh lebih rentan menjadi korban bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial.
Secara signifikan, situasi sosial, politik, ekonomi, maupun budaya di semua belahan dunia menunjukkan tanda-tanda yang makin agresif dan membahayakan hidup perempuan.
Perempuan harus hidup di antara arus utama kecenderungan dunia yang ditunjukkan dengan populasi penduduk yang semakin padat dan ‘menua’ (jumlah lansia yang terus bertambah seiring dengan harapan hidup yang semakin panjang namun tidak diiringi dengan layanan yang memadai), meningkatnya angka perempuan kepala keluarga sebagai beban ganda, meningkatnya mobilitas, feminisasi kemiskinan, tuna wisma, meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan, dan kehancuran sistem pelayanan sosial yang digantikan dengan komersialisasi.
Seiring dengan terus meningkatnya jumlah korban jiwa dan hak milik secara global, persepsi orang tentang bencana telah berubah secara signifikan. Bencana tidak dilihat lagi sebagai sebuah kejadian yang tak dapat diduga, mengerikan karena berdampak pada kerusakan dan kematian, atau sebagai sebuah keniscayaan alam.
Cara pandang yang demikian kini digugat. Bencana alam adalah persoalan kebijakan publik, hasil dari sebuah kegagalan sistem peringatan atau, kelemahan antisipasi, sekaligus merupakan dampak kebijakan-kebijakan yang membuat kerentanan tersebut menjadi semakin mungkin.
Perempuan dalam Bencana
Bencana telah menjadi sebuah persoalan masalah kebijakan berskala global yang melibatkan model pembangunan ‘modern’ yang memperluas kerentanan hidup perempuan atas alam dan teknologi. Penggunaan tanah yang eksploitatif, kebijakan pengaturan pemukiman yang tidak mengindahkan lingkungan, serta distribusi populasi, telah secara dramatis menghancurkan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam.
Tak salah jika gagasan Vandana Shiva yang ia tuangkan dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Development misalnya, mengkritik secara tajam penafsiran tentang ‘kemajuan’, ‘pembangunan’, dan ‘pengetahuan’ yang menurutnya justru lebih merupakan sebuah kemunduran, kesengsaraan, dan pembahayaan siklus hidup, terutama perempuan.
Kerentanan Perempuan di Wilayah Bencana Bencana alam yang diikuti oleh usaha-usaha relokasi dan rekonstruksi seringkali menghadirkan berbagai tantangan yang unik bagi perempuan. Usaha-usaha untuk pemulihan dan pembangunan kembali (relief and reconstruction) harus memperhitungkan hambatan-hambatan ini terutama untuk mengurangi dampak yang berbahaya bagi keselamatan perempuan.
Beberapa hal yang harus diperhitungkan pada fase awal setelah bencana adalah:
1. Kekerasan terhadap perempuan
Trauma pasca bencana biasanya diikuti dengan pengkristalan hubungan kuasa. Orang yang pada struktur sosial awal sebelum bencana lemah menjadi semakin lemah, sementara yang merasa kuat akan berusaha menekan yang lemah untuk memenuhi tantangan kehidupan yang mengeras. Dalam relasi gender, peran perempuan menjadi berlipat ganda karena selain harus mencari sumber daya bagi penghidupan, mereka pun tetap melaksanakan tugas-tugas pemeliharaan domestik.
Dalam kamp-kamp yang tidak tertata secara baik, perempuan terpaksa tidur dalam sebuah tempat-tempat yang tidak memperhatikan privatisasi. Situasi ini jelas sangat rawan di tengah psiko-sosial yang teramat labil.
2. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
Perempuan adalah mayoritas orang miskin di dunia. Dalam keadaan ‘normal’ pun perempuan selalu tergantung secara ekonomi dan umumnya hidup dari tambahan penghasilan yang minimal. Bencana alam telah merusak sumber keuangan reguler yang biasa mereka kelola.
Jelas ini akan mengancam kemampuan mereka untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Di Gujarat, India, ketika gempa bumi mengguncang daerah tersebut, banyak perempuan yang kemudian tergantung pada paket-paket bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketika bantuan dihentikan, mereka langsung kehilangan sumber daya untuk mempertahankan hidupnya. Bencana juga telah merusak kemampuan perempuan menjaga kesehatan diri dan keluarganya.
Baca juga artikel terkait yang bisa mendalami tentang topik sosial lainnya di platform kami:
- Perempuan dan Kearifan Lokal
- Kebahagiaan Masokis pada Perempuan Muda dan Anak Perempuan di Media
- Pola Asuh Otoriter dan Hardiness
Kerentanan perempuan terus berlanjut hingga fase rekonstruksi. Setidaknya perempuan rawan untuk menghadapi situasi-situasi di bawah ini:
1. Perempuan kepala keluarga
Bencana alam telah membuat perempuan memikul beban ganda yaitu peran-peran rumah tangga sekaligus peran untuk menyokong kehidupan keluarganya. Mereka juga menemukan dirinya tiba-tiba harus menjadi janda namun sekaligus bertanggung jawab bagi kehidupan anak-anaknya, anggota keluarga yang telah lanjut usia. Sementara jika tidak ditinggal mati suami, dia harus menjadi kepala keluarga karena suami yang pergi untuk mencari pekerjaan baru.
2. Kelangkaan jaring pengaman sosial
Karena ketiadaan jaring pengaman sosial, perempuan terpaksa harus menyisihkan penghasilannya yang minimal untuk keperluan-keperluan yang bersifat antisipatif. Mungkin di awal bencana berbagai bentuk pinjaman dapat mereka peroleh, namun setelah bencana terjadi jumlah pinjaman yang tersedia semakin lama semakin berkurang.
3. Lingkaran kemiskinan
Bencana semakin menambah runyam derita mereka karena kemiskinan yang telah terjadi sebelum bencana. Lingkaran kemiskinan semakin menjerat karena ketiadaan akses terhadap segala jenis sumber daya dan bentuk-bentuk pelatihan keterampilan. Waktu mereka habis untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup.
4. Tuna wisma dan hak kepemilikan pribadi
Hak untuk memiliki sangat penting bagi perempuan terutama bagi para janda dan anak yatim piatu. Jika perempuan tidak memiliki hak tersebut mereka akan kehilangan tempat tinggal dan tanah mereka. Di Pakistan, sebuah dokumen penelitian mengungkapkan banyak perempuan yang harus kehilangan tempat tinggalnya karena hukum yang mengutamakan hak kepemilikan bagi laki-laki.
5. Perdagangan perempuan dan anak
Menghadapi ancaman kelaparan yang semakin nyata, sebuah keluarga miskin di Balluchistan, Pakistan memutuskan untuk menjual salah seorang anak gadis mereka yang berusia 15 tahun untuk biaya makan sehari-hari. Situasi ini bukan tidak mungkin terjadi di Aceh, apalagi karena dampak tsunami yang demikian parah.
Kunci Penyelamatan Perempuan dalam Bencana