Perempuan dan Kearifan Lokal

perempuan dan kearifan lokal

Istilah kearifan lokal (local wisdom) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut.

Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.

Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi.

Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitarnya.

Misalnya orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tatkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri.

Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.

Perempuan dan Kearifan Lokal

Isu kearifan lokal dengan perempuan dapat jatuh pada dua sisi. Sisi pertama, kearifan lokal sebagai kebudayaan, bila ia mendominasi perempuan, maka kearifan lokal menjadi menindas perempuan. Sisi lain adalah sebaliknya, yaitu apabila kearifan lokal sebagai kebudayaan  bukanlah sebagai alat untuk dominasi, melainkan sangat berguna bagi lingkungan masyarakat termasuk perempuan, maka kearifan lokal akan menjadi membebaskan kaum perempuan.

Aleta Ba’un misalnya, seorang perempuan yang mempertahankan kearifan lokal untuk demi kelestarian lingkungannya. Ia memperjuangkan masyarakat Molo beserta lingkungan di wilayah Molo, dimana gunung yang kaya dengan marmer-nya itu sering membuat orang asing ingin menjarahnya.

Aleta Ba’un dengan kearifan lokalnya di wilayah Molo ini menunjukkan kearifan yang berorientasi pada kelestarian lingkungan yang itu berarti berdampak pada kelestarian kebudayaan dan kehidupan masyarakat lokal. Masyarakat dan kebudayaan Molo nyaris punah akibat penjarahan-penjarahan gunung Molo yang kaya dengan marmer itu, dan dibawahnya pula sumber kehidupan masyarakat terutama air.

Aleta, dalam konteks perempuan dan kearifan lokal ini mengidentikan dirinya (perempuan) dengan alam (tanah) dan karenanya manusia yang menganggu alam berarti mengganggu kehidupan perempuan. Kearifan lokal itulah yang diyakini oleh Aleta.

Sebaliknya, bila kearifan lokal menjadi kebudayaan yang mendominasi bahkan diskriminasi, maka kearifan lokal yang dimaksud menjadi bertentangan dengan kehidupan perempuan. Misalnya, peraturan-peraturan daerah yang banyak dikeluarkan sering mengatur cara berpakaian perempuan dan perempuan dilarang keluar malam serta tidak boleh  bepergian tanpa muhrim.

Sejak otonomi daerah diberlakukan, sering kita membaca di media massa istilah “Putra Daerah”, termasuk kearifan lokal. Celakanya, kearifan lokal dipilih-pilih dan pilihan tersebut tidak dijadikan dasar untuk mensejahterakan masyarakat lokal. Ini akibat dari kebudayaan yang terjadi sangat patriarkhis, kebudayaan yang melihat perempuan hanyalah konco wingking, yang harus mengikuti pihak laki-laki saja.

Kearifan Lokal dan Feminisme

Atas hal yang telah disebutkan di atas, pertanyaan yang harus kita ajukan di atas adalah: adakah kebudayaan atau kearifan yang netral? Atau sekalipun kebudayaan itu sifatnya patriarkhis, bisakah masyarakat itu mengubah “lokalitasnya”? Netral artinya adalah cukup berlaku adil terhadap perempuan dan laki-laki.

Katha Pollit menyatakan bahwa sejarah gerakan feminisme awalnya sangat menolak kearifan lokal. “Dengan menuntut kesamaan bagi perempuan, feminisme mengadakan oposisi dengan hampir semua kebudayaan di dunia ini…” karena hampir semua kebudayaan menurut gerakan feminis ini menekan atau menindas perempuan, termasuk agama yang sudah menjadi bagian dari kultur atau kebudayaan dalam sebuah masyarakat. Namun feminisme multikultural menganggap justru kearifan lokal ini dapat dimanfaatkan perempuan, atau menjadi politik budaya perempuan.

Politik Perempuan: “Politik … tidak sekedar berkaitan dengan kekuasaan tetapi dengan pendidikan dan perubahan yang mendasar pada tatanan sosial budaya “ atau politik Perempuan: “Berkaitan dengan kehidupan dan pengalaman perempuan sehari-hari.”

Kisah Aleta Ba’un telah menunjukkan hal ini. Strategi Gerakan Feminis tentang Kearifan Lokal Istilah multikulturalisme maupun kearifan lokal biasanya dipakai untuk menyuburkan putra-daerahisme, esensialisasi tradisi dan identitas budaya. Karena istilah ini tidak dipakai secara kritis, melainkan untuk membangkitkan budaya patriarki.


Baca juga artikel terkait yang bisa mendalami tentang topik sosial lainnya di platform kami:


Seperti budaya dan tradisi yang sakral membuat manusia menjadi: manusia untuk tradisi, yang berarti rawan patriarki Dengan jalan yang kritis tersebut, maka feminisme dan multikulturalisme atau kearifan lokal menjadi bisa sejalan yaitu: harus kritis atas relasi kekuasaan dalam hidup sehari-hari (termasuk diri sendiri).

Oleh karena itu harus disertai prinsip-prinsip:

  • Menghargai perbedaan dan siap berdialog dengan yang berbeda
  • Mencari strategi budaya yang tepat sesuai dengan konteks dan masalah yang ada
  • Berjejaring dengan berbagai kelompok yang berbeda untuk tujuan keadilan dan kesamaan hak. Selain itu, perlunya melihat keseimbangan antara  “kepentingan bersama” dan “keragaman” yaitu:
    • a) nasionalisme  mengutamakan kepentingan bersama dalam komunitas bernegara-berbangsa di atas kepentingan pribadi/kelompok dan
    • b) multikulturalisme mengembangkan toleransi, menghormati perbedaan, mengakui hak dan keberadaan yang lain, melihat persamaan.

Sementara itu strategi yang harus dilakukan gerakan perempuan dalam menghadapi kearifan lokal ini adalah:

  • Gerakan perempuan tidak bisa mengabaikan dinamika budaya dan keragamannya
  • Perempuan sebagai pengampu nilai budaya komunitas, keluarga, kelompok agama dll tidak bisa tidak mengambil posisi budaya.
  • Politik budaya Perempuan: pemilihan posisi yang strategis dan kritis, bernegosiasi dengan kekuatan budaya dan politik yang melingkupinya (global-lokal).

Adalah salah satu konsep yang ada di bawah ideologi tentang keberagaman, pluralisme atau multikulturalisme. Yaitu bahwa sangat tidak mempercayai “kesatuan”, melainkan “keberagaman”. Kesatuan membuat identitas hilang dari setiap individu manusia ke dalam satu pemikiran atau kehidupan yang tunggal. Itulah sebabnya multikulturalisme dalam prakteknya mendukung ide tentang kearifan lokal.

 

Perempuan dan Kearifan Lokal

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *